WELCOME NIL SUDAN

SELAMAT DATANG DI PUSAT INFORMASI SEPUTAR BERITA SUDAN

30 Jan 2016

Penguasaan Bahasa Arab dan Peranannya Dalam Menangkal Pemahaman Menyimpang”


Oleh: Abu Usamah Al-Balikpapany

Bahasa Arab oleh sebagian orang masih dan akan selalu diidentikkan sebagai bahasa islam. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad dan generasi awal umat islam (para sahabatnya) adalah dari bangsa arab, setidaknya, merupakan satu dari sekian alasan kuat mengapa muncul semacam paradigma bahwa bahasa arab adalah bahasa kaum muslimin. Namun sebenarnya yang harus senantiasa selalu disegarkan dibenak setiap kita bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-qur’an dan hadist, masing-masing dari keduanya merupakan sumber hukum yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu dan masyarakat muslim, sementara untuk memahami pesan-pesan yang terkandung didalamnya tidak ada cara lain selain menggunakan bahasa arab sebagai perangkat utama yang wajib dimiliki oleh siapapun yang khendak mengkaji dan mendalami khazanah keislaman yang telah diwariskan oleh nabi dan para salaf, yang mana keseluruhan dari warisan tersebut hanya terekam dan tertulis dengan bahasa arab.
Imam Syafi’i –rahimahulloh– yang dikenal sebagai pencetus pertama ilmu ushul fiqih telah mengupas topik ini dalam kitab monumental beliau “ar-risalah”. Dibagian awal dari lembaran buku tersebut beliau sempat mengkaji secara eksplisit masalah kemurnian teks dan kalimat Al-qur’an dari sisi “kearabannya”. Diakhir pembahasan, beliau secara tegas menyatakan bahwa orang yang paling utama dari segi lisan adalah orang yang lisannya serupa dengan lisan (bahasa) Rasululloh –alaihissolatu was salam. Kesimpulan Imam Syafi’i ini benar-benar berangkat dari sebuah pengamatan dan hipotesa yang sangat objektif dan konfrehensif, melihat bahwa bahasa arab memiliki kekayaan uslub dan gaya bahasa yang diyakini efektif mentrasfer pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks wahyu tersebut. Hal itu disamping bahasa arab sarat akan perbendaharaan kata dan kalimat yang fleksibel namun akurat, keistimewaan ini sekaligus merupakan indikasi kuat bahwa bahasa arab adalah salah satu dari bahasa-bahasa tertua dimuka bumi ini.
Kedudukan bahasa arab sebagai bagian dari agama ini seakan telah mendapat stempel ijma’ dari semua komponen umat islam. Sejak dahulu para ulama salaf telah memberikan perhatian serius terhadap penguasaan dan pelestarian bahasa arab. Terhitung disana sejumlah besar para ulama bukan orang arab yang mampu mencapai derajat mujtahid dan produktif menelorkan karangan-karangan mereka dengan berbahasa arab. Para imam hadist seperti Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah, bahkan imam ilmu nahwu Seibaweh mereka semua bukanlah orang arab, tetapi kesadaran mereka akan pentingnya penguasaan bahasa wahyu ini mendorong mereka untuk mempelajari dan mendalami satu-satunya bahasa yang memiliki huruf dhod itu. Jelas sekali bahwa motivasi mereka mendalami bahasa arab tidak lain hanya untuk berkhidmah kepada agama ini, serta untuk memahami Al-qur’an dan sunnah Rosul dengan pemahaman yang shohih, yang jauh dari kontaminasi pemahaman rancu ahlul bid’ah dan para pemuja hawa nafsu.
Kebodohan akan bahasa arab sangat potensial menjadi sebab tumbuhnya pemahaman islam yang menyimpang. Gejala ini sesungguhnya sudah mulai nampak sejak zaman generasi sahabat, hanya saja pada waktu itu kasus-kasus kekeliruan dalam memahami nash Al-qur’an ataupun hadist masih tergolong langka, karena pada umumnya kaum muslimin ketika itu adalah orang arab yang menguasai, dan mengerti betul seluk beluk bahasa arab secara alami, hanya hal ini sama sekali bukan indikasi mutlak bahwa saat itu tidak pernah terjadi kekeliruan dalam memahami teks-teks Alqur’an dan hadist. Sebuah kasus terekam dalam kitabsohih Muslim, Urwah bin Zubair hampir-hampir berpendapat bahwa sa’i antara Safa dan Marwah bukan suatu kewajiban apalagi sampai disebut rukun. Urwah berkata kepada Aisyah –radhiallohu anha-: “Menurutku sa’i diantara bukit Safa dan Marwa (dalam haji dan umroh) bukan merupakan kewajiban..”, lantas Aisyah –dengan rada keheranan- bertanya: “Kenapa demikian?”, maka aku katakan: “karena Allah berfirman:
(إن الصفا والمروة من شعائر الله، فمن حج البيت واعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما)
Artinya: (Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian dari syi’ar-syi’ar (agama) Allah, maka barang siapa yang beribadah haji kebaitullah atau berumrah, tidak ada dosabaginya mengerjakan sa’i antara keduanya)[QS:Albaqaroh:158], Aisyah lantas menjawab: “..sekiranya hal itu seperti yang kamu katakan pastilah ayat tersebut berbunyi: (أن لا يطّوف بهما), artinya: Tidaklah mengapa baginya untuk tidak bersa’i- antara keduanya (bukit Safa dan Marwa)…, diakhir hadist Aisyah menegaskan: “Tidaklah sempurna (sah) haji dan umroh seseorang manakala tidak bersa’i antara Sofa dan Marwah.
Berangkat dari atsar Aisyah tadi, terdapat dua faedah penting yang perlu diungkap disini, pertama: Urwah hampir saja terjatuh dalam kekeliruan fatal saat memahami ayat tersebut dengan nalar linguistiknya, padahal kita tahu bahwa beliau hidup dan berada dalam lingkup lingkungan arab fushah yang masih murni. Kedua: koreksi Aisyah cenderung mengedepankan logika kebahasaan dan tidak sekedar pemaparan sisi historisnya (lihat cakupan lengkap riwayat hadist), kemungkinan besar argumentasi tersebut bertolak dari saliqah lughowiyyah(tabiat dasar penalaran lughoh) yang dimilikinya sebagiamana layaknya orang-orang arab saat itu.
Kasus serupa juga pernah terjadi pada seorang sahabat bernama Adi bin Hatim-radhiallohu anhu-, beliau berkata: “ketika turun ayat Allah yang berbunyi:
حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود
…hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam..” (QS: Albaqaroh:187), segera aku mengambil tali putih dan hitam, kemudian kuletakkan dibawah bantalku, akan tetapi keduanya tetap tidak nampak (disaat fajar), maka kuceritakan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau lantas tertawa dan bersabda: “Sesungguhnya maksud dari pada (ayat) itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang”.HR.Abu Dawud.
Isyarat yang perlu diungkap dari riwayat diatas, bahwa sebagian besar sahabat tidak memahami ayat diatas seperti halnya pemahaman Adi bin Hatim, karena memang secarahakikat urfi’ah (fakta tradisi kebahasaan) mereka, yang dimaksud dengan ayat itu adalah waktu fajar yaitu masa transisi antara malam dan siang.
Seiring meluasnya ekspansi islam dalam penaklukan negeri-negeri timur dan barat, bahasa arab turut membentang dan menjalar kewilayah-wilayah non-arab yang jatuh ketangan muslimin, dari sana mulai terlihat pergesekan dan proses saling berakulturasi antara bahasa arab dan bahasa-bahasa setempat. Maka terjadilah fenomena lahn (kekeliruan berbahasa) yang lambat laun semakin meluas. Dampaknya kepada ajaran islam nampak dalam bentuk menjamurnya paham-paham sesat yang menyusup ketubuh kaum muslimin saat itu. Maka tidak perlu heran manakala sebagian besar pencetus sekte-sekte sempalan seperti Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Darhim, Washil bin Atho’, Abdullah bin Saba’, mereka semua bukan berasal dari orang-orang arab.
Imam Sufyan Ats-tsauri –rahimahulloh- seringkali wajahnya memerah apabila melihat sebagian kaum nebet (suku non arab di Syam yang gemar bertani) ramai-ramai mencatat ilmu (syar’i) alias “nyantri”, alasan beliau saat ditanya, “Dahulu ilmu dipegang oleh orang-orang arab, bahkan ilmu (syar’i) tersebut hanya berkisar dikalangan terpandang bangsa arab (ulama), ketika ilmu ini berpindah dari mereka kepada orang-orang nebet (yang lemah pengetahuan bahasa arabnya), pastilah agama ini berubah”.
Imam Syafi’i –rahimahulloh- berkata: “Sesungguhnya sebab kebodohan akan ajaran islam dan perselisihan orang-orang didalamnya melainkan karena mereka telah meninggalkan bahasa arab dan mulai cenderung kepada bahasa Aristoteles”.
Dua kelompok ekstrim yaitu Khawarij dan Murji’ah terperangkap dalam lingkaran syubhat dan bid’ah kronis lantaran tidak berbekal dengan penguasaan uslub-uslub dan tabi’at bahasa arab secara matang. Keadaan mereka semakin parah ketika kekeliruan-kekeliruan dalam memahami isi dan maksud nash-nash hadist nabi justru diadopsi menjadi sebuah manhaj. Telah luput dari orang-orang Khawarij dan Murji’ah bahwa orang arab seringkali menafi’kan sesuatu oleh sebab ketidak-sempurnaan sesuatu itu. Sebagai contoh: orang arab yang kecewa terhadap hasil kerja budaknya bisa saja mengatakan: أنت ما عملت شيئا –artinya-: kamu sedikitpun tidak mengerjakan apa-apa”, tabi’at ungkapan mubalagoh (berlebihan) seperti ini masyhur beredar dikalangan orang-orang arab, maka harus dipahami bahwa pada hakikatnya budak itu bisa jadi sudah berletih-letih mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya, namun oleh sebab ketidak-beresan dalam bekerja maka dia harus menerima cacian dari tuannya dengan uslub penafi’an tersebut.
Adapun yang terkait dengan bid’ah Khawarij maupun Murji’ah, mereka memang sejak awal menolak adanya uslub ini, terlebih saat berinteraksi dengan hadist-hadist Rasulullah saw. Oleh sebab itulah para penganut sekte Khawarij berpendapat bahwa orang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan semacamnya wajib divonis murtad, karena terdapat hadist nabi yang berbunyi:
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن, artinya: “Tidaklah seseorang yang sedang berzina itu beriman saat ia melakukan zina.”HR.Muslim. Orang Khawarij mengklaim bahwa Nabi telah menafi’kan iman secara mutlak dari pelaku zina. Padahal yang dinafi’kan dihadits tersebut adalah kesempurnaan iman, bukan aslul iman, demikian pemahaman ulama ahlus sunnah wal jama’ah tentang masalah ini, disamping memang paham ahlus sunnah wal jama’ah senantiasa berseirama dengan kaedah dan uslub bahasa arab. Dikubu ekstrim yang lain, sebagian penganut paham Murji’ah meyakini bahwa seseorang yang tidak mengerjakan amalan dzohir sedikitpun, disaat telah ada kemampuan dan ruang waktu untuk melakukannya, maka sepantasnya dihukumi selamat dari kekekalan azab dineraka, selagi dia masih beriman dihati dan dilisan, karena status orang tersebut termasuk dalam derajat naqisul iman (imannya kurang). Murji’ah membangun sebuah konsep bahwa amalan dzohir (jinsul amal) bukun rukun (atau syarat sah) hakikat keimanan, akan tetapi ia hanyalah unsur luar lain yang dapat menjadi faktor kesempurnaan iman seorang hamba. Kekeliruan fatal Murji’ah diantaranya bertolak dari pemahaman mereka terhadap hadist Syafa’at yang cukup masyhur, yang mana pada hadist tersebut terdapat potongan kalimat yang berbunyi: فيخرج منها قوم لم يعملوا خيرا قط (dikeluarkan dari neraka sekelompok orang yang tidak pernah beramal sedikitpun). Menurut paham murji’ah penafi’an disini adalah penafi’an mutlak, yang berarti bahwa orang yang tidak beramal sholeh sedikitpun semasa hidupnya tetap dihukumi beriman, meskipun hanya disebut naqisul iman (beriman kurang).
Pemahaman Murji’ah dalam masalah ini jelas berbenturan dengan paham Ahlus sunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa keimanan itu terdiri dari unsur asasi (atau rukun) yaitu: ucapan, keyakinan dan amalan. Imam Syafi’i –rahimahulloh– berkata dalam kitab “Um”nya: “Merupakan sebuah ijma’ para sahabat, tabi’in, dan yang sempat kita jumpai dari kalangan ulama yang datang setelah mereka, bahwa (hakikat) keimanan itu terdiri dari; perbuatan, amalan, dan niat (keyakinan), salah satu dari ketiganya ini tidak menjadikan sah (keimanan itu) kecuali dengan yang lainnya”. Masih seputar nash لم يعملوا خيرا قط imam Abu Bakar bin Khuzaimah dalam kitab “Tauhidnya” menuturkan: “Lafadz ini, serupa dengan jenis (uslub) yang digunakan orang Arab, mereka menafi’kan sebutan dari dzatnya oleh karena ketidak-sempurnaan sesuatu itu”.
Sikap penyepelehan terhadap penguasaan integral bahasa arab kini merupakan masalah serius yang nyaris terabaikan. Banyaknya paham-paham sesat di negri kita, terkhusus akhir-akhir ini, sebagiannya disebabkan oleh kebodohan kita akan bahasa arab itu. Betapa banyak kaum muslimin hari ini yang membaca Al-qur’an dan Hadits tanpa mengetahui makna yang terkandung didalamnya. Kalau saja Urwah bin Zubair, seorang alim dizaman tabi’in, yang berkebangsaan arab dan tumbuh besar dilingkungan arab nyaris terjatuh dalam kekeliruan fatal saat memahami ayat yang telah disebutkan tadi. Lantas bagaimana kita?. Tidakkah sepatutnya kita meneladani imam Syafi’i yang orang arab, namun rela bersabar menekuni bahasa arab selama empat belas tahun di perkampungan bani Hudzail. Ironisnya, belakangan justru muncul semacam dikotomi antara ilmu syari’ah dan bahasa arab dari sebagian pelajar ilmu-ilmu syari’ah. Sungguh, terpendam keprihatinan dalam diri penulis saat menanyakan sebuah bait-bait nasyid berbahasa arab kepada salah seorang mahasiswa indonesia bidang syari’ah di Timur tengah, jawaban beliau terlontar “enteng” tanpa beban: “ana orang syari’ah, masalah seperti ini tanyakan saja sama yang belajar dijurusan bahasa arab”. Dalam hati bergumam, semoga saat dia ditanya seputar permasalahan syari’ah jawabannya bukan: “tanyakan saja sama yang di kuliah tata-boga”. Wallohu a’lam bisshowab.