Bahasa Arab oleh
sebagian orang masih dan akan selalu diidentikkan sebagai bahasa islam.
Kenyataan bahwa Nabi Muhammad dan generasi awal umat islam (para sahabatnya)
adalah dari bangsa arab, setidaknya, merupakan satu dari sekian alasan kuat
mengapa muncul semacam paradigma bahwa bahasa arab adalah bahasa kaum muslimin.
Namun sebenarnya yang harus senantiasa selalu disegarkan dibenak setiap kita
bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-qur’an dan hadist, masing-masing dari
keduanya merupakan sumber hukum yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu
dan masyarakat muslim, sementara untuk memahami pesan-pesan yang terkandung
didalamnya tidak ada cara lain selain menggunakan bahasa arab sebagai perangkat
utama yang wajib dimiliki oleh siapapun yang khendak mengkaji dan mendalami
khazanah keislaman yang telah diwariskan oleh nabi dan para salaf, yang mana
keseluruhan dari warisan tersebut hanya terekam dan tertulis dengan bahasa
arab.
Imam Syafi’i –rahimahulloh–
yang dikenal sebagai pencetus pertama ilmu ushul fiqih telah mengupas topik ini
dalam kitab monumental beliau “ar-risalah”. Dibagian awal dari lembaran buku
tersebut beliau sempat mengkaji secara eksplisit masalah kemurnian teks dan
kalimat Al-qur’an dari sisi “kearabannya”. Diakhir pembahasan, beliau secara
tegas menyatakan bahwa orang yang paling utama dari segi lisan adalah orang
yang lisannya serupa dengan lisan (bahasa) Rasululloh –alaihissolatu was
salam. Kesimpulan Imam Syafi’i ini benar-benar berangkat dari sebuah
pengamatan dan hipotesa yang sangat objektif dan konfrehensif, melihat bahwa
bahasa arab memiliki kekayaan uslub dan gaya bahasa yang
diyakini efektif mentrasfer pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks wahyu
tersebut. Hal itu disamping bahasa arab sarat akan perbendaharaan kata dan
kalimat yang fleksibel namun akurat, keistimewaan ini sekaligus merupakan
indikasi kuat bahwa bahasa arab adalah salah satu dari bahasa-bahasa tertua dimuka
bumi ini.
Kedudukan bahasa arab
sebagai bagian dari agama ini seakan telah mendapat stempel ijma’ dari semua
komponen umat islam. Sejak dahulu para ulama salaf telah memberikan perhatian
serius terhadap penguasaan dan pelestarian bahasa arab. Terhitung disana
sejumlah besar para ulama bukan orang arab yang mampu mencapai derajat mujtahid
dan produktif menelorkan karangan-karangan mereka dengan berbahasa arab. Para
imam hadist seperti Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah, bahkan
imam ilmu nahwu Seibaweh mereka semua bukanlah orang arab, tetapi kesadaran
mereka akan pentingnya penguasaan bahasa wahyu ini mendorong mereka untuk
mempelajari dan mendalami satu-satunya bahasa yang memiliki huruf dhod itu.
Jelas sekali bahwa motivasi mereka mendalami bahasa arab tidak lain hanya untuk
berkhidmah kepada agama ini, serta untuk memahami Al-qur’an dan sunnah Rosul
dengan pemahaman yang shohih, yang jauh dari kontaminasi pemahaman rancu ahlul
bid’ah dan para pemuja hawa nafsu.
Kebodohan akan bahasa
arab sangat potensial menjadi sebab tumbuhnya pemahaman islam yang menyimpang.
Gejala ini sesungguhnya sudah mulai nampak sejak zaman generasi sahabat, hanya
saja pada waktu itu kasus-kasus kekeliruan dalam memahami nash Al-qur’an
ataupun hadist masih tergolong langka, karena pada umumnya kaum muslimin ketika
itu adalah orang arab yang menguasai, dan mengerti betul seluk beluk bahasa
arab secara alami, hanya hal ini sama sekali bukan indikasi mutlak bahwa saat
itu tidak pernah terjadi kekeliruan dalam memahami teks-teks Alqur’an dan
hadist. Sebuah kasus terekam dalam kitabsohih Muslim, Urwah bin
Zubair hampir-hampir berpendapat bahwa sa’i antara Safa dan Marwah bukan suatu
kewajiban apalagi sampai disebut rukun. Urwah berkata kepada Aisyah –radhiallohu
anha-: “Menurutku sa’i diantara bukit Safa dan Marwa (dalam haji dan umroh)
bukan merupakan kewajiban..”, lantas Aisyah –dengan rada keheranan- bertanya:
“Kenapa demikian?”, maka aku katakan: “karena Allah berfirman:
(إن الصفا والمروة من شعائر الله، فمن حج البيت واعتمر فلا جناح
عليه أن يطوف بهما)
Artinya: (Sesungguhnya
Safa dan Marwah merupakan sebagian dari syi’ar-syi’ar (agama) Allah, maka
barang siapa yang beribadah haji kebaitullah atau berumrah, tidak ada
dosabaginya mengerjakan sa’i antara keduanya)[QS:Albaqaroh:158], Aisyah lantas menjawab: “..sekiranya hal itu seperti yang
kamu katakan pastilah ayat tersebut berbunyi: (أن
لا يطّوف بهما), artinya: Tidaklah mengapa baginya untuk tidak bersa’i-
antara keduanya (bukit Safa dan Marwa)…, diakhir hadist Aisyah menegaskan:
“Tidaklah sempurna (sah) haji dan umroh seseorang manakala tidak bersa’i antara
Sofa dan Marwah.
Berangkat dari atsar
Aisyah tadi, terdapat dua faedah penting yang perlu diungkap disini, pertama:
Urwah hampir saja terjatuh dalam kekeliruan fatal saat memahami ayat tersebut
dengan nalar linguistiknya, padahal kita tahu bahwa beliau hidup dan berada
dalam lingkup lingkungan arab fushah yang masih murni. Kedua:
koreksi Aisyah cenderung mengedepankan logika kebahasaan dan tidak sekedar
pemaparan sisi historisnya (lihat cakupan lengkap riwayat hadist), kemungkinan
besar argumentasi tersebut bertolak dari saliqah lughowiyyah(tabiat
dasar penalaran lughoh) yang dimilikinya sebagiamana layaknya orang-orang arab
saat itu.
Kasus serupa juga
pernah terjadi pada seorang sahabat bernama Adi bin Hatim-radhiallohu anhu-,
beliau berkata: “ketika turun ayat Allah yang berbunyi:
حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود
“…hingga jelas
bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam..” (QS: Albaqaroh:187), segera aku mengambil tali putih dan hitam,
kemudian kuletakkan dibawah bantalku, akan tetapi keduanya tetap tidak nampak
(disaat fajar), maka kuceritakan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau lantas
tertawa dan bersabda: “Sesungguhnya maksud dari pada (ayat) itu adalah
hitamnya malam dan putihnya siang”.HR.Abu Dawud.
Isyarat yang perlu
diungkap dari riwayat diatas, bahwa sebagian besar sahabat tidak memahami ayat
diatas seperti halnya pemahaman Adi bin Hatim, karena memang secarahakikat
urfi’ah (fakta tradisi kebahasaan) mereka, yang dimaksud dengan ayat
itu adalah waktu fajar yaitu masa transisi antara malam dan siang.
Seiring meluasnya
ekspansi islam dalam penaklukan negeri-negeri timur dan barat, bahasa arab
turut membentang dan menjalar kewilayah-wilayah non-arab yang jatuh ketangan
muslimin, dari sana mulai terlihat pergesekan dan proses saling berakulturasi
antara bahasa arab dan bahasa-bahasa setempat. Maka terjadilah fenomena lahn (kekeliruan
berbahasa) yang lambat laun semakin meluas. Dampaknya kepada ajaran islam
nampak dalam bentuk menjamurnya paham-paham sesat yang menyusup ketubuh kaum
muslimin saat itu. Maka tidak perlu heran manakala sebagian besar pencetus
sekte-sekte sempalan seperti Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Darhim, Washil bin Atho’,
Abdullah bin Saba’, mereka semua bukan berasal dari orang-orang arab.
Imam Sufyan Ats-tsauri
–rahimahulloh- seringkali wajahnya memerah apabila melihat sebagian
kaum nebet (suku non arab di Syam yang gemar bertani) ramai-ramai mencatat ilmu
(syar’i) alias “nyantri”, alasan beliau saat ditanya, “Dahulu ilmu dipegang
oleh orang-orang arab, bahkan ilmu (syar’i) tersebut hanya berkisar dikalangan
terpandang bangsa arab (ulama), ketika ilmu ini berpindah dari mereka kepada
orang-orang nebet (yang lemah pengetahuan bahasa arabnya), pastilah agama ini
berubah”.
Imam Syafi’i –rahimahulloh- berkata:
“Sesungguhnya sebab kebodohan akan ajaran islam dan perselisihan orang-orang
didalamnya melainkan karena mereka telah meninggalkan bahasa arab dan mulai
cenderung kepada bahasa Aristoteles”.
Dua kelompok ekstrim
yaitu Khawarij dan Murji’ah terperangkap dalam lingkaran syubhat dan bid’ah
kronis lantaran tidak berbekal dengan penguasaan uslub-uslub dan
tabi’at bahasa arab secara matang. Keadaan mereka semakin parah ketika kekeliruan-kekeliruan
dalam memahami isi dan maksud nash-nash hadist nabi justru
diadopsi menjadi sebuah manhaj. Telah luput dari orang-orang Khawarij dan
Murji’ah bahwa orang arab seringkali menafi’kan sesuatu oleh sebab
ketidak-sempurnaan sesuatu itu. Sebagai contoh: orang arab yang kecewa terhadap
hasil kerja budaknya bisa saja mengatakan: أنت ما عملت شيئا –artinya-: kamu sedikitpun tidak
mengerjakan apa-apa”, tabi’at ungkapan mubalagoh (berlebihan)
seperti ini masyhur beredar dikalangan orang-orang arab, maka harus dipahami
bahwa pada hakikatnya budak itu bisa jadi sudah berletih-letih mengerjakan
pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya, namun oleh sebab ketidak-beresan
dalam bekerja maka dia harus menerima cacian dari tuannya dengan uslub penafi’an
tersebut.
Adapun yang terkait
dengan bid’ah Khawarij maupun Murji’ah, mereka memang sejak awal menolak adanya
uslub ini, terlebih saat berinteraksi dengan hadist-hadist Rasulullah saw. Oleh
sebab itulah para penganut sekte Khawarij berpendapat bahwa orang muslim yang
berzina, mencuri, membunuh dan semacamnya wajib divonis murtad, karena terdapat
hadist nabi yang berbunyi:
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن, artinya: “Tidaklah seseorang yang sedang berzina itu
beriman saat ia melakukan zina.”HR.Muslim. Orang Khawarij mengklaim bahwa
Nabi telah menafi’kan iman secara mutlak dari pelaku zina. Padahal yang
dinafi’kan dihadits tersebut adalah kesempurnaan iman, bukan aslul iman,
demikian pemahaman ulama ahlus sunnah wal jama’ah tentang masalah ini,
disamping memang paham ahlus sunnah wal jama’ah senantiasa berseirama dengan
kaedah dan uslub bahasa arab. Dikubu ekstrim yang lain, sebagian penganut paham
Murji’ah meyakini bahwa seseorang yang tidak mengerjakan amalan dzohir
sedikitpun, disaat telah ada kemampuan dan ruang waktu untuk melakukannya, maka
sepantasnya dihukumi selamat dari kekekalan azab dineraka, selagi dia masih
beriman dihati dan dilisan, karena status orang tersebut termasuk dalam
derajat naqisul iman (imannya kurang). Murji’ah membangun
sebuah konsep bahwa amalan dzohir (jinsul amal) bukun rukun (atau syarat
sah) hakikat keimanan, akan tetapi ia hanyalah unsur luar lain yang dapat
menjadi faktor kesempurnaan iman seorang hamba. Kekeliruan fatal Murji’ah
diantaranya bertolak dari pemahaman mereka terhadap hadist Syafa’at yang cukup
masyhur, yang mana pada hadist tersebut terdapat potongan kalimat yang
berbunyi: فيخرج منها قوم لم يعملوا خيرا قط (dikeluarkan dari neraka sekelompok orang yang tidak
pernah beramal sedikitpun). Menurut paham murji’ah penafi’an disini adalah
penafi’an mutlak, yang berarti bahwa orang yang tidak beramal sholeh sedikitpun
semasa hidupnya tetap dihukumi beriman, meskipun hanya disebut naqisul
iman (beriman kurang).
Pemahaman Murji’ah
dalam masalah ini jelas berbenturan dengan paham Ahlus sunnah wal jama’ah yang
menyatakan bahwa keimanan itu terdiri dari unsur asasi (atau rukun) yaitu:
ucapan, keyakinan dan amalan. Imam Syafi’i –rahimahulloh– berkata dalam
kitab “Um”nya: “Merupakan sebuah ijma’ para sahabat, tabi’in, dan yang
sempat kita jumpai dari kalangan ulama yang datang setelah mereka, bahwa
(hakikat) keimanan itu terdiri dari; perbuatan, amalan, dan niat (keyakinan),
salah satu dari ketiganya ini tidak menjadikan sah (keimanan itu) kecuali
dengan yang lainnya”. Masih seputar nash لم يعملوا خيرا قط imam Abu Bakar bin Khuzaimah dalam kitab
“Tauhidnya” menuturkan: “Lafadz ini, serupa dengan jenis (uslub) yang digunakan
orang Arab, mereka menafi’kan sebutan dari dzatnya oleh karena
ketidak-sempurnaan sesuatu itu”.
Sikap penyepelehan
terhadap penguasaan integral bahasa arab kini merupakan masalah serius yang
nyaris terabaikan. Banyaknya paham-paham sesat di negri kita, terkhusus
akhir-akhir ini, sebagiannya disebabkan oleh kebodohan kita akan bahasa arab
itu. Betapa banyak kaum muslimin hari ini yang membaca Al-qur’an dan Hadits
tanpa mengetahui makna yang terkandung didalamnya. Kalau saja Urwah bin Zubair,
seorang alim dizaman tabi’in, yang berkebangsaan arab dan tumbuh besar
dilingkungan arab nyaris terjatuh dalam kekeliruan fatal saat memahami ayat
yang telah disebutkan tadi. Lantas bagaimana kita?. Tidakkah sepatutnya kita
meneladani imam Syafi’i yang orang arab, namun rela bersabar menekuni bahasa
arab selama empat belas tahun di perkampungan bani Hudzail.
Ironisnya, belakangan justru muncul semacam dikotomi antara ilmu
syari’ah dan bahasa arab dari sebagian pelajar ilmu-ilmu
syari’ah. Sungguh, terpendam keprihatinan dalam diri penulis saat
menanyakan sebuah bait-bait nasyid berbahasa arab kepada salah
seorang mahasiswa indonesia bidang syari’ah di Timur tengah, jawaban beliau
terlontar “enteng” tanpa beban: “ana orang syari’ah, masalah seperti ini
tanyakan saja sama yang belajar dijurusan bahasa arab”. Dalam hati bergumam,
semoga saat dia ditanya seputar permasalahan syari’ah jawabannya bukan:
“tanyakan saja sama yang di kuliah tata-boga”. Wallohu a’lam bisshowab.